Respons Mendikti Soal Gas Air Mata di Unisba dan Unpas: Kampus Bukan Zona Represif
bapakbisnis.com – Insiden penembakan gas air mata yang menyasar area kampus Universitas Islam Bandung (Unisba) dan Universitas Pasundan (Unpas) Bandung, Senin malam (1 September 2025), langsung memicu reaksi keras. Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) Brian Yuliarto angkat suara. Menurutnya, kampus adalah zona aman akademik, bukan tempat represi. Lalu, apa langkah konkret yang dilakukan Kemdiktisaintek? Yuk pembahasan lengkapnya berikut ini!
Kritik Tegas Mendikti—Kampus Itu Zona Aman Akademik
Mendiktisaintek Brian Yuliarto menyatakan bahwa penyemprotan gas air mata ke arah kampus bisa dimaknai sebagai bentuk serangan terhadap ruang aman kampus. Ia menyayangkan keputusan aparat yang berpotensi mengganggu proses pendidikan dan kebebasan akademik.
Menurut Rektor Unisba Harits Nu’man, aparat keamanan sempat berupaya memastikan pihak tak bertanggung jawab meninggalkan area kampus. Namun penggunaan gas air mata patut dijauhi, karena bisa menyasar mahasiswa dan staf tanpa ampun.
Mendikti menegaskan bahwa kampus adalah ruang akademik bebas dan merdeka — tempat aspirasi mahasiswa seharusnya diterima, bukan dipaksa lalu dibubarkan paksa.
Penanganan Korban—Pendampingan Medis & Psikologis
Tak hanya komentar normatif, Kemdiktisaintek juga bergerak nyata. Mereka mengirimkan tim untuk berkoordinasi langsung dengan pimpinan Unisba dan Unpas. Langkah ini untuk menilai dampak terhadap mahasiswa, staf, maupun fasilitas kampus.
Jika ada korban—baik fisik maupun psikologis—Mendikti menyiapkan pendampingan medis dan psikologis. Ini penting terutama untuk mahasiswa yang mengalami trauma karena insiden represif tadi malam.
Selain itu, Kemdiktisaintek menginstruksikan agar perguruan tinggi menyediakan kanal pengaduan cepat. Jadi jika ada kejadian serupa, aspirasi mahasiswa bisa segera disalurkan dan ditindaklanjuti.
Kecaman Kampus & Pakar Hukum—Gas Air Mata Itu Pelanggaran Serius
BEM Unisba mengecam tindakan represif aparat karena menembakkan gas air mata ke area kampus. Aksi keras ini dianggap melanggar prinsip kampus sebagai zona aman dan damai.
Pakar hukum dari Universitas Muhammadiyah Surabaya, Satria Unggul Wicaksana, bahkan menyebut tindakan ini sebagai pelanggaran serius terhadap kebebasan akademik dan hak asasi manusia. Ia menyinggung pentingnya otonomi perguruan tinggi yang dilindungi undang-undang.
Menurutnya, kampus seharusnya menjadi ruang dialog, bukan tempat intervensi aparat. “Jika aparat menutup suara kritis, itu lebih mendekati praktik otoritarianisme daripada demokrasi,” ujar dia dengan tegas.
Polisi Klaim Gas Air Mata Tertiup—Bukan Disengaja Masuk Kampus
Sementara itu, Polda Jabar membantah keras narasi jika aparat memasuki kampus atau menembakkan gas air mata ke dalam kampus. Menurut Kombes Hendra Rochmawan, penembakan hanya ke jalan raya—untuk membubarkan massa anarkis—tetapi tertiup angin hingga masuk area parkir kampus.
Kapolda Jabar bahkan menyampaikan permintaan maaf secara resmi atas insiden ini. Mereka menekankan tindakan represif hanya dilakukan karena terprovokasi oleh kelompok anarko yang menyebabkan kerusuhan.
Rektor Unisba juga menegaskan bahwa CCTV dan pengamatan tidak menunjukkan adanya aparat yang masuk ke dalam kampus. Ia menyatakan hanya ada demonstran yang masuk karena sweeping dari jalan Tamansari.
Penutup—Dialog, Bukan Represi, Adalah Solusi
Kesimpulannya: Respons Mendikti cukup tegas—kampus adalah zona aman akademik, bukan medan represi. Kemdiktisaintek tidak hanya menyuarakan, tapi juga memberikan langkah konkret: pendampingan medis, kanal aduan cepat, dan koordinasi untuk mencegah kejadian serupa.
Harapannya, kita bisa menjaga kampus sebagai ruang dialog produktif, bukan jebakan konflik. Aspirasi mahasiswa harus didengar, bukan dilumat dengan gas air mata.