Filipina Dorong RUU Cadangan Bitcoin: 10.000 BTC dalam Lima Tahun
bapakbisnis.com – DPR Filipina kembali geger dengan munculnya House Bill No. 421, atau Strategic Bitcoin Reserve Act, yang diajukan oleh Congressman Miguel Luis “Migz” Villafuerte. Rancangan undang‑undang ini mewajibkan Bangko Sentral ng Pilipinas (BSP) membeli 2.000 BTC setiap tahun selama lima tahun, dengan total mencapai 10.000 BTC—setara lebih dari US$1,1 miliar sesuai harga pasar saat ini. Aset ini akan dikunci selama minimal 20 tahun sebagai bagian dari cadangan devisa, kecuali digunakan untuk pelunasan utang negara.
Semua cadangan Bitcoin itu disimpan dalam cold storage tersebar secara geografis untuk meminimalkan risiko keamanan. Satu tahun sebelum masa penahanan selesai, BSP wajib melaporkan ke Kongres soal opsi: memperpanjang penyimpanan atau melepas sebagian aset tersebut. Jika dilepas, maksimal hanya 10 persen setiap dua tahun.
Langkah ini bertujuan diversifikasi cadangan negara agar tidak tergantung pada emas atau dolar AS, dan menjadikan Filipina pelopor di Asia dalam kebijakan nyali tinggi soal aset digital.
Inti Rencana & Tujuan Strategis
Dalam nota penjelasan, Villafuerte menyebut Bitcoin sebagai “emas digital” karena pertumbuhan nilai rata-ratanya mencapai 40 persen per tahun dalam lima tahun terakhir. Poin utama RUU ini adalah mengamankan aset strategis tahan guncangan ekonomi global.
Dengan RUU ini, Filipina bisa jadi negara Asia pertama yang menempatkan Bitcoin secara legal sebagai bagian dari cadangan nasional—terlepas dari kebijakan El Salvador sebelumnya. Di samping itu, negara lain seperti Brazil, Swiss, dan Polandia juga sedang mempertimbangkan skema serupa.
Transparansi & Mekanisme Pengawasan Ketat
RUU mengatur bahwa BSP harus menerapkan sistem proof-of-reserves, termasuk laporan publik per kuartal terkait jumlah Bitcoin, transaksi, dan pengelolaan kunci privat. Laporan tersebut harus mudah diakses masyarakat, meneguhkan transparansi dari aset nasional yang masih menjadi isu kontroversial di dunia.
Selain itu, RUU menempatkan cadangan dalam trust fund dengan pengawasan ketat dari para pejabat tinggi, termasuk gubernur BSP dan kementerian terkait. Meskipun long-term lock-up bisa menghindari spekulasi jangka pendek, tetap saja volatilitas Bitcoin menjadi tantangan utama dalam penilaian jangka panjang cadangan nasional.
Reaksi Global dan Komparasi Internasional
Jika RUU disahkan, Filipina bakal melewati jumlah cadangan Bitcoin El Salvador (6.276 BTC) dan mendekati Bhutan (10.565 BTC). Ini memberi sinyal bahwa negara ini serius dalam mengadopsi kebijakan digital forward-thinking di panggung global.
Beberapa negara telah mengeksplorasi skema cadangan digital: El Salvador menjadikannya legal tender, Brazil menimbang cadangan BTC, dan Rusia bahkan memanfaatkan aset digital dalam perdagangan antarnegara. Filipina kini bisa menyusul dan jadi pelopor di Asia Timur.
Risiko & Kritik terhadap RUU Ini
Walau bertujuan jangka panjang, aturan ini punya risiko signifikan. Bitcoin sangat fluktuatif—harga bisa turun drastis dalam semalam, berisiko merusak nilai cadangan. Meski demikian, penguncian 20 tahun dan pelepasan terbatas (10 % tiap dua tahun) menandakan pendekatan konservatif terhadap risiko kejatuhan harga.
Selain itu, implementasi teknis memerlukan infrastruktur mumpuni: cold storage, custodian terpercaya, keamanan siber, dan pelatihan staf khusus. Tanpa dukungan kuat dari BSP dan pemerintahan, skema ini bisa gagal di tengah jalan.
Penutup
Kesimpulan
RUU Strategic Bitcoin Reserve Act di Filipina mencanangkan pembelian 10.000 BTC dalam lima tahun untuk dijadikan cadangan nasional—langkah progresif menuju diversifikasi finansial dan perkuat stabilitas ekonomi.
Jika disahkan, Filipina akan mengangkat posisi sebagai negara pertama di Asia yang legalisasikan Bitcoin sebagai cadangan strategis, menandingi negara-negara yang sudah lebih dulu memanfaatkan aset digital.
Harapan
Semoga RUU ini membuka diskusi lebih luas soal inovasi finansial dan peran kripto dalam stabilitas fiskal. Dengan pengawasan ketat dan edukasi, Filipina bisa menjadi contoh bahwa negara berkembang juga bisa bergerak cepat menuju ekonomi modern dengan dasar digital.